Ketua Komunitas Pojok Budaya Wahyudi Anggoro |
Bantul - Wahyudi
Anggoro sadar betul akan potensi yang dimiliki oleh desa tempat tinggalnya. Untuk
itu bersama komunitas Pojok Budaya yang didirikan bersama rekan-rekannya, ia berusaha
mengembangkan potensi yang telah dimiliki Kampung
Pandes, Panggungharjo,
Bantul yang telah menyandang predikat sebagai “Kampung Dolanan”.
Kampung Pandes adalah kampung yang
dikenal banyak orang lantaran konsistensi warganya melestarikan dan selalu
menjaga mainan tradisional, yang yang berwujud bendawi atau permainan dengan
olah tubuh. Kampung ini dianggap unik lantaran pada masa sekarang ini sangat
sulit dijumpai kampung
semacam ini. Meski harus dengan usaha keras dan ketekunan, nyatanya eksistensi
Kampung Dolanan tetap menjadi prioritas Wahyudi Anggoro. “Kalau sekarang orang
mengenal kampung ini,
kemudian ingin mengunjunginya, itu bukan tanpa
perjuangan sebelumnya. Kami berusaha mempromosikan kampung ini lewat berbagai
cara termasuk media massa,”
terangnya, saat ditemui Senin
(14/05/2012).
Melalui berbagai kegiatan dan
program kerja yang dijalankan bersama komunitas Pojok Budaya,
ia ingin memberitahukan pada semua orang bahwa setiap permainan tradisional
nyatanya memiliki filosofi, makna,
dan nilai-nilai di
dalamnya, yang baik untuk
ditularkan kepada khalayak. “Permainan ini mungkin akan punah puluhan tahun
lagi, namun apabila kita telah menularkan dan menanankan nilai-nilai dari
permainan itu pada orang banyak, inilah sebenarnya cara kita untuk tetap
mengabadikan permainan tradisional”, terang pria 42 tahun ini.
Saat ditanya mengapa ia begitu tertarik dengan permainan tradisional, maka dengan tegas ia menjawab karena permainan terdisional bisa memberikan suatu pengajaran tanpa perlu yang bersangkutan merasa diajari. “Dalam permainan tradisional itu ada 3 aspek penting yang tak terpisahkan dan harus ada, yakni wiraga (gerak tubuh), wirama (irama dari nyanyian pemainnya) dan wirasa (persaan senang sert gembira), kesatuan itulah yang membuat permainan tradisional bukan sekedar dolanan pelepas penat,” lanjutnya.
Bentuk lain dari usaha pelestariannya adalah ia membuat sebuah redesign dari permainan-permainan tradisional tersebut. “Kalau dibuat kitiran atau kurungan manuk biasa, mainan ini hanya dihargai Rp 1000 maka dengan dibuat muniaturnya, kemudian kita jual sebagai souvenir, maka harganya bisa menjadi Rp 7.000,” lanjutnya. (Paramita Puspitasari)