Blangkon merupakan bagian dari
busana tradisional Jawa
yang dipakai oleh kaum pria di kepala dan biasanya bermotif seperti batik. Blangkon pada prinsipnya terbuat
dari kain ikat atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-kira selebar 105 cm
x 105 cm, ukuran
blangkon diambil dari jarak antara garis dari telinga kanan dan kiri melalui
dahi. Penggunaan
blangkon hanya terbatas pada saat-saat tertentu saja, seperti acara pernikahan,
acara adat, dan acara syukuran Jawa.
Salah satu sudut Sentra Pengrajin Blangkon Serenga , Sabtu (12/5) |
Wilayah Serengan yang terletak di bagian selatan Kota Solo itu sehari-hari menjadi
salah satu sentra pengrajin blangkon. Pada
sekitar tahun 1960-an di sana hanya terdapat tiga pengrajin yaitu Bapak
Kaswanto, Juni, dan Wiyono. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, usaha blangkon berkembang hingga saat ini mencapai 13 pengrajin
yang tergabung dalam Paguyuban Pengrajin Blangkon Solo (PPBS).
Ketua PPBS, Ananto menjelaskan
dua jenis blangkon,
yaitu blangkon Yogyakarta dan blangkon Solo. “Blangkon Yogyakarta sendiri itu menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang
berbentuk seperti kue onde-onde. Kalau blangkon Solo itu modelnya trepes,” jelas Ananto
Mondholan
pada blangkon Yogyakarta menandakan
model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian
belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang
blangkon. “Hal itu kemudian menjadikan salah satu filosofi masyarakat jawa yang
pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri
karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah laku,”
terang Ananto.
Blangkon
Solo merupakan
modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang
berambut pendek. Model trepes ini
dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan
pada bagian belakang blangkon. “Tidak adanya tonjolan hanya diikatkan jadi satu
dengat mengikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya, ini
artinya bahwa untuk
menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam
pikiran orang jawa,” kata Ananto.
Melihat dari segi budaya, blangkon masih akan
tetap terus lestari seiring dengan lestarinya pakaian adat jawa. Namun, karena
sifat industri blangkon ini adalah home
industry,
permodalan masih menjadi kendalanya. Para pengrajin blangkon berharap pemerintah memberikan dukungan di sektor permodalan agar
mereka dapat terus memproduksi blangkon sebagai aset seni dan budaya yang harus dijaga keeksistensiannya. ( Delly Sandika Putra)
0 komentar:
Posting Komentar