Minggu, 13 Mei 2012

Blangkon, Sederhana dan Penuh Filosofi

Blangkon merupakan bagian dari busana tradisional Jawa yang dipakai oleh kaum pria di kepala dan biasanya bermotif seperti batik. Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain ikat atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-kira selebar 105 cm x 105 cm, ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis dari telinga kanan dan kiri melalui dahi. Penggunaan blangkon hanya terbatas pada saat-saat tertentu saja, seperti acara pernikahan, acara adat, dan acara syukuran Jawa.


Salah satu sudut Sentra Pengrajin Blangkon Serenga , Sabtu (12/5)
Wilayah Serengan yang terletak di bagian selatan Kota Solo itu sehari-hari menjadi salah satu sentra pengrajin blangkon. Pada sekitar tahun 1960-an di sana hanya terdapat tiga pengrajin yaitu Bapak Kaswanto, Juni, dan Wiyono. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, usaha blangkon berkembang hingga saat ini mencapai 13 pengrajin yang tergabung dalam Paguyuban Pengrajin Blangkon Solo (PPBS).

Ketua PPBS, Ananto menjelaskan dua jenis blangkon, yaitu blangkon Yogyakarta dan blangkon Solo. “Blangkon Yogyakarta sendiri itu menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti kue onde-onde. Kalau blangkon Solo itu modelnya trepes,” jelas Ananto

Mondholan pada blangkon Yogyakarta menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. “Hal itu kemudian menjadikan salah satu filosofi masyarakat jawa yang pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah laku,” terang Ananto.

Blangkon Solo merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon. “Tidak adanya tonjolan hanya diikatkan jadi satu dengat mengikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya, ini artinya bahwa untuk menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orang jawa,” kata Ananto.
­­­

Melihat dari segi budaya, blangkon masih akan tetap terus lestari seiring dengan lestarinya pakaian adat jawa. Namun, karena sifat industri blangkon ini adalah home industry, permodalan masih menjadi kendalanya. Para pengrajin blangkon berharap pemerintah memberikan dukungan di sektor permodalan agar mereka dapat terus memproduksi blangkon sebagai aset seni dan budaya yang harus dijaga keeksistensiannya. ( Delly Sandika Putra)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More